Oppa Rudi Fofid, RAJA MURAD ISMAIL ?
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
RAJA BESAR MURAD ISMAIL?
Opini Rudi Fofid-Kairatu
Sebuah postingan Ikhsan Tualeka di dinding facebook telah menimbulkan reaksi. Kritik dan koreksi, ada juga kecaman, kepada Ikhsan.
Saya membaca ucapan terima kasih Ikhsan kepada banyak orang yang memberi reaksi. Sebagai tindak lanjut, Ikhsan membuat perbaikan. Dia mengedit postingan itu, sehingga istilah “Raja Besar” sudah diganti menjadi “mungkin semacam Dir U Hamwang”.
Perhatikan, bahwa Ikhsan menggunakan istilah “mungkin semacam”. Jadi, ini pun tidak pasti. Apalagi Ikhsan tidak menjadi bagian dari pertemuan Gubernur Murad Ismail, Bupati Hanubun dan tiga raja (Tiga? Saya cuma kenal 1 saja yakni Raja N…...).
Ini semua dalam suasana politik, kekuasaan, elit, tertutup, terbatas, jadi tentu tidak ada penjelasan paling paripurna oleh siapapun, kecuali gubernur, bupati, tiga raja, dan Tuhan.
Setelah Ikhsan meralat Raja Besar menjadi Dir U Hamwang, ternyata banyak reaksi masih mengalir dan membidik istilah Raja Besar. Reaksi terlambat terhadap perubahan cepat adalah semacam ketinggalan kereta.
Saya juga membaca postingan Ikhsan Tualeka, dan tidak ingin kecam siapapun karena:
1. Ini agenda politik di lingkaran adat. Bisa dibalik, ini agenda adat di lingkaran politik. Siapa diuntungkan? Saya yakin inilah simbiosis mutualisma, sama-sama untung.
2. Raja Besar, Dir U Hamwang, atau gelar Tongala sekalipun, semua itu adalah “gelar kehormatan” bukan gelar adat sejati. Tentu, pemberian gelar ini harus melalui mekanismenya sendiri, sehingga mendapat legitimasi kuat dan tidak timbul kontroversi. Kalau legitimasi rendah, pemberi gelar dan penerima gelar sama-sama rugi.
3. Orang Kei punya pengalaman kolektif di era modern ini dalam hal menganulir gelar Dir U Hamwang kepada David Ciu (Tjiu?) yang sudah dilegitimasi mayoritas raja di Kei. Ini sebuah preseden baik. Jadi kalau hanya tiga raja memberi gelar, tentu risiko legitimasi rendah akan merugikan Gubernur Murad. Belum apa-apa sudah muncul reaksi negatif dari orang Kei, apalagi kalau benar-benar terjadi.
4. Kalau pun gelar kehormatan jadi diberikan, orang Kei punya pilihan. Lihat dulu gelar yang diberikan itu apa, siapa yang memberi gelar itu. Kalau setuju, ya terima saja. Kalau tidak setuju, bikin lagi perlawanan sampai menang, sebagaimana melawan pemberian gelar kepada David Ciu.
5. Tidak perlu juga kita panik-panik amat, merasa adat diinjak-injak, terancam diinjak, dan seakan hendak mau berakhir kesakralan adat di Kei. Mengapa? Sekali lagi, ini cuma gelar kehormatan. Nantilah baru kita bisa ajukan pertanyaan kritis: Murad Ismail sudah bikin apa yang spektakuler bagi orang Kei, sehingga terasa ada sebuah lompatan besar di Kei.
6. Sesungguhnya, orang Kei dari dahulu sampai sekarang (juga banyak komunitas masyarakat Maluku selain Kei) punya tradisi menghormati tamu, menyayangi orang asing, memberi penghargaan lebih, bahkan berlebih-lebihan juga kepada pendatang, orang luar, orang baru, orang asing, dan siapa saja dalam kelompok “Mav”. Ohoi Duan bahkan rela memberi hak menjadi pemimpin (Raja) kepada para pendatang itu, lengkap dengan gelarnya yang permanen, definitif. Sila diperiksa di Kei, Raja-Raja di Kei datang dari mana? Bali? Halmahera? Arab? Mohon ada yang bisa melengkapi ini. Ohoi Duan mengambil posisi tuan tan, bukan raja.
7. Jadi, memberi gelar dan jabatan permanen saja bisa diberikan oleh leluhur Kei kepada para pendatang, apalagi cuma gelar kehormatan tanpa jabatan.
8. Terima kasih, Ikhsan Tualeka sudah “membocorkan” agenda “politik-adat” dan “adat-politik” ini, sehingga publik bisa tahu, dan bisa bersiap-siap harus bikin apa bila gelar itu benar-benar diberikan.
Demikian dari saya, semoga kita bisa diskusi dengan sangat tenang. Hormat untuk semua yang gigih menjaga “kesucian” adat kita. Ulil O!
Tabe
Kairatu, 25 Mei 2022
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar